Dia yang Bilang "jangan berhenti" kepada Saya yang Tidak Tahu Berhenti untuk Apa

Gemuruhnya sisi selatan Jakarta membuat saya ingin merenggangkan badan walau sebentar. Berhenti di sebuah warung kopi pinggir jalan menjadi sebuah pilihan karena rasa penasaran saya akan rasa kopi yang mereka jajakan. 

Di tepi jalan, di mana kita bisa melihat banyak kendaraan yang berlalu lalang mengangkut orang-orang dengan segala riuh isi pikirannya dengan secangkir kecil kopi telur khas daratan Sumatera. Kopi ini lucu. Disajikan dengan batang serai sebagai pengaduk dan ada setengah potongan jeruk nipis di piring kecilnya. Boleh jadi, preferensi saya akan kopi yang menjadikan pemandangan di hadapan saya ini terlihat aneh.  

Tetapi, sejak kapan kopi disandingkan dengan jeruk nipis?





Kepulan asap kopi yang sedari tadi dipindahkan dari satu cangkir ke cangkir lainnya sudah mulai merebak. Lihai juga mereka dalam membuat kopi itu hingga menghasilkan banyak buih di atas permukaannya. Mereka bilang, inilah yang disebut sebagai kupi tarek. Walaupun kopi itu bukan disuguhkan untuk saya, namun tetap menarik untuk menyimak bagaimana kopi tarik itu dibuat. Setidaknya bertambah lagi sedikit wawasan saya mengenai kopi. 

Suara gaduh orang-orang semakin kuat terdengar sejak makin ramainya pengunjung dan pengguna jalan yang melewati warung kecil ini. Memang, magnet terkuat untuk datang ke kedai kopi adalah menikmati kopi sembari berinteraksi dengan orang-orang yang berada di dalamnya. 

Selama menikmati suasana, tak lama seorang perempuan datang menghampiri meja saya. Sepertinya ia masih kuliah atau bahkan masih bersekolah. Entahlah, yang pasti ia datang untuk menawari saya makanan ringan yang ia jual. Dengan berbagai bentuk rayuan persuasif (yang sebenarnya tidak berpengaruh banyak untuk saya), dia menawarkan produk-produk yang ia punya beserta harganya. Saya lihat, masih banyak makanannya yang belum laku. Dengan jelas terlihat dari tasnya yang besar itu. Ia menggendong tas yang berukuran setengah dari tinggi badannya. Lebih dari setengah sepuluh malam? Sepertinya hari yang berat dan menjemukan ini tidak hanya datang kepada saya saja untuk saat ini, ya. 

Dia meminta saya membeli makanannya walaupun satu saja. Memang cukup mahal. Tetapi, kenapa tidak? Supaya ia lekas pulang dan memegang sedikit uang, saya membeli satu makanan yang ia jual. Ia berterima kasih. Tak lupa, ia mendoakan saya, konsumen yang baru saja ia temui pada saat itu

"Semoga sehat selalu, tetap berbuat baik, ya!"

Berbuat baik? Bagaimana bisa? 

Bagaimana bisa saya meyakinkan dan memastikan diri sendiri akan selalu atau setidaknya tetap berbuat "baik" kalau sampai saat ini pun konsep baik dan buruk masih abu-abu di dalam kepala saya? 

Siapa diri saya pun saya tidak tahu. Meminta pendapat orang terkait saya? Tentu itu akan menjadi mimpi buruk yang tiada ujungnya. Saya belum siap mendengar apapun yang orang katakan tentang saya. Lebih buruk lagi, tidak akan siap. 

Baik? Seperti apa bentuk "berbuat baik" itu? 

Apakah berbuat baik itu ada parameter ataupun dimensinya? 

Sampai saat ini, saya belum melihat konsep mutlak baik dan buruk. Yang saya alami adalah, semua itu akan melebur dalam relativitas. Karena selama ini saya tidak pernah melihat kebaikan dan keburukan yang kekal. Apalagi bila berbicara perkara baik dan buruknya orang. Tak jarang, orang yang kita anggap sangat baik pun dapat menjadi Penjahat nomor satu yang siap melebarkan konflik di cerita hidup kita. Begitu pun sebaliknya. Boleh jadi, orang yang kita anggap buruk malah menjadi orang yang tanpa pamrih membantu kita atau orang lain. Don't judge the book by its cover memang selalu menjadi masalah yang belum tertuntaskan karena sudah menjadi pola pikir individual. 

Kebaikan dan keburukan tak jarang datang dari subjek yang sama, dilakukan pada objek yang sama atau berbeda. Terkadang memikirkan ataupun tidak memikirkan unsur 5W 1H yang selama ini kita pelajari di berbagai bidang.

Manusia, konsep baik dan buruk, apalagi yang akan datang untuk mengelilingi isi pikiran saya setelah ini?

Comments

Popular Posts