Si Belia dengan Segala Pertanyaan Liarnya

Alkisah, seorang anak kecil sedang berjalan di negeri yang konon sudah berdaulat. Langkah demi langkah sudah dilewatinya untuk menyisir jalanan kota di negeri itu. Ia melihat negerinya yang ternyata sudah bukan lagi negeri yang rakyatnya perlu bergerilya karena menjadi sapi perah di tengah polemik negeri besar saat perang dunia dulu.

Di kiri dan kanan jalan, ia melihat banyak sekali gedung-gedung mewah yang tertancap dengan kokohnya, rumah makan yang ramai dengan suara tawa renyah pengunjungnya. Tetapi, semua yang ia lihat justru menuai sebuah pertanyaan di dalam kepalanya

"Apa semua ini nyata? Atau apakah semua yang kulihat ini hanya fatamorgana semata?"

Mulai di titik waktu itu, ia berpikir dan melakukan perjalanan untuk menerbitkan jawaban-jawaban sebagai antidot dari rasa penasarannya itu.


Apa kurangnya kita?

Memang betul bila dikatakan banyak negeri yang sedang berlomba-lomba untuk menjadi negeri yang maju. Tak terkecuali negeri ini. Setidaknya, supaya terlihat maju dan tak perlu menahan rasa malu dalam waktu yang cukup lama. Mudah kita lihat saat ini negara kita berjibaku untuk "memewahkan" setiap inci tanah yang akan kita pijak tiap harinya agar membuat kita merasakan berjalan tanpa tercegat liatnya lumpur, menikmati pemandangan langit dan gedung-gedung kota dari laju kereta, dan masih banyak lagi. Nikmat sekali bukan?

Namun, apakah semuanya betul-betul sesempurna itu? senikmat itu?
Betulkah tidak ada sejengkal kekurangan yang harus segera diperbaiki di negeri ini selain jalanan yang berlubang?

Kilas Balik

Tak baik rasanya bila kita tidak memandang lanskap negeri ini lebih luas lagi. Karena, sulit untuk kita dapat membantu anak kecil itu yang pikirannya sedang melalang buana. Sampai di sini, apakah kalian sudah dapat menebak apa yang masih kurang dari negeri ini?

Anak kecil itu pun menemukan pertanyaan-pertanyaan baru lainnya.

Mengapa masih banyak di antara kita yang menjadi budak di negeri sendiri?

Mengapa di ujung sana ada yang mencoba untuk saling bunuh?

Mengapa di sudut jalan itu ada seorang ibu yang bingung untuk menjawab protes yang terus dilancarkan oleh anaknya yang sedang lapar?

Tidakkah kalian melihatnya juga?
Apakah benar semua itu adalah keganjilan yang menjadi beberapa contoh dari kekurangan negeri ini?

Mereka yang Sedang Bersemai

Sepertinya kita perlu untuk mulai menajamkan setiap indera kita untuk mulai mengangsur jawaban ke setiap pertanyaan yang telah menunggu sebelumnya. Mulai dari seorang ibu yang kebingungan karena anaknya yang sedang lapar, hingga mereka yang entah mengapa saling membunuh di negerinya yang katanya telah terlepas atas segala penjajah.

Padahal, kita bukan lagi berada pada zaman cultuurstelsel ataupun romusha yang memaksa setiap orang untuk menjadi budak di negeri sendiri dan bertaruh nyawa untuk itu. Namun, mengapa banyak sekali yang masih hidup sebagai budak di negeri yang telah berdikari ini? Mengapa masih banyak yang menerima upah yang tak seirama dengan semua yang telah mereka kerjakan?

Tak lain karena masih banyak yang hanya mengandalkan dan diandalkan tenaganya saja seperti menggali, memukul, memotong, mengangkat, dan pekerjaan lain yang serupa. Mereka tidak diajak untuk masuk ke dalam perundingan besar yang membahas konsep, capaian, ataupun duduk masalah kakap yang sedang dihadapi oleh para elit itu. Kalaupun mereka diundang, mereka hanya akan duduk dan sedikit bicara karena masih tak paham apa yang sedang dirundingkan saat itu. Mereka pun tak paham apa itu inflasi, bagaimana memperluas pasar, hingga bagaimana mengamankan aset. Jangankan bicara mengenai itu semua, membedakan antara paragraf dan kalimat di dalam suatu teks pun masih sukar mereka lakukan.

Lalu bagaimana dengan ibu yang sedang kelabakan menghadapi kelaparan yang melanda anaknya?

Ternyata, semua itu lantaran dirinya bingung karena tak ada yang bisa ia lakukan untuk mendapatkan uang yang cukup. Selembar uang yang dimilikinya pun tak akan pernah bisa membunuh rasa lapar yang hinggap di tubuh anaknya. Segala cara telah dicoba, namun hanya penolakan yang ia dapat sebagai jawaban dari usahanya. Entah mengajukan diri sebagai buruh, ataupun sekadar menjual suara dari satu bus ke bus lainnya. Nihil. Mungkin hanya butuh waktu yang tak lama untuk melihat anaknya sakit karena lapar.

Setelah itu,bagaimana dengan orang-orang yang tidak ada masalah dengan perutnya namun mulai untuk membunuh satu sama lain?

Rupanya ini lebih rumit lagi dibanding perkara sebelumnya. Banyak sekali sebab musabab yang menjadi sumber munculnya kekacauan yang satu ini. Mulai dari sebuah kesalahpahaman, perkara hormon yang membuat diri meledak-ledak, hingga demi memenuhi hasrat untuk berkuasa dan harus menyingkirkan yang lainnya.

Kini, anak kecil itu mulai berhenti di tengah perjalanannya itu pun mulai berpikir bak detektif yang sedang mengungkap kebenaran dari suatu kasus. Ia mulai paham dengan apa yang sedang terjadi diantara ketiga polemik tadi yang ternyata memiliki hubungan satu sama lain jika ditelusuri lebih lanjut. Segera, dengan tegas ia membuat sebuah praduga yaitu

"Masing-masing mereka punya sisi kebutaan yang berbeda satu sama lain. Tetapi, soal penyebabnya, belum dapat disimpulkan. Bisa saja sama, bisa saja tidak."

Kebutaan

Tentu maksudnya bukanlah rabun pada mata. Namun lebih dari itu, mereka memiliki banyak ketidaktahuan yang seolah-olah membuat mereka terlihat buta atas apa yang terjadi pada dunia dan terus menerus berada di titik rendah hingga yang terendah sehingga mereka secara tidak sadar sedang membenamkan diri mereka sendiri. Mereka berada dalam keadaan yang sulit karena diri sendiri dan keadaan zaman yang sulit ditebak akan seperti apa di masa depan dan tentunya kian rumit.

Bukan memerlukan kacamata, namun mereka membutuhkan yang lebih dari sekadar membantu mereka melihat di sekitar secara visual. Mereka membutuhkan sesuatu yang menyadarkan mereka bahwa zaman ini sangatlah berbeda. Mereka tak bisa hanya berpangku tangan dan mulai memberi umpatan pada apa yang ada di sekitarnya. Mereka memerlukan sesuatu yang mampu mengubah keadaan mereka yang mampu melepaskan diri mereka dari kebutaan yang dapat menelan diri mereka sendiri.

Lantas, apa yang sebenarnya yang mampu menyembuhkan mereka dari kebutaan yang seperti itu?

Apakah masih banyak di luar sana yang mengalami kebutaan serupa?

Di luar ekspektasi


Setelah menelisik lebih jauh lagi, negeri yang sedang kita bahas ini memang sedang tidak baik-baik saja. Hipotesis anak kecil itu mungkin memang benar adanya. Yang ia lihat dibalik silaunya lampu-lampu mewah itu menyadarkannya kalau semua yang memanjakan matanya hanya fatamorgana, tak lebih dari itu. Belum cukup melihat ketiga masalah itu, muncul lagi beberapa hal yang membuatnya semakin terperangah. Hal-hal yang tak sepatutnya ia lihat harus dia saksikan secara langsung tanpa ada sensor apapun. Kini dia sedang melihat bagaimana manusia merusak lingkungannya sendiri dengan cara membakar, membunuh atau memenjarakan hewan-hewan, hingga menciptakan neraka untuk mereka sendiri dengan membangun bukit-bukit yang berbau dan terlihat sangat menjijikkan.

Tidak jauh dari sana, ia melihat banyak orang yang tidak bisa bertemu dengan damai. Selalu menolak karena masing-masing dari mereka merasa berbeda dan spesial. Seperti bukan levelnya bila harus bertemu dengan orang-orang yang berbeda dengan mereka dari sisi manapun.

Rasa penasaran anak kecil ini pun mengarah ke sebuah pertanyaan baru yang lebih spesifik.

"Apa yang dilakukan oleh anak-anak di negeri ini? Pasti salah satu kepingan jawabannya terletak di situ."

Benarkah?

Tak lama dari sana, anak kecil ini pun akhirnya bertemu dengan anak-anak seusianya dan yang sedikit lebih tua darinya. Dia melihat kalau anak-anak kecil seusianya memiliki keseharian yang ganjil. Hanya makan, minum, tidur, bahkan beberapa di antaranya ada yang bekerja di pinggir jalan. Selain itu, dia lihat juga kebencian sudah mengalir deras di banyak diri anak-anak seusianya. Mereka bisa membenci orang tuanya, kawannya, saudaranya, ataupun membenci diri mereka sendiri. Buktinya, banyak di antara mereka yang betah dengan hidupnya yang masih kelam. Banyak di antara mereka yang lebih memilih untuk nyaman mendapatkan uang secara instan untuk makan. Tak sedikit pula di antara mereka yang lebih memilih untuk hidup dibalik riangnya hidup tenang karena hidup yang serba enak. Cukup menjerit atau menangis untuk meminta sesuatu. Tak cukup jauh berbeda dengan anak-anak yang meminta-minta di pinggir jalan itu.

Tunggu dulu. Bukankah mereka seharusnya bersekolah?

Itu dia! Sekolah sepertinya yang menjadi salah satu penyebab dari semua hal-hal yang mengganggu ini terjadi. Karena banyak yang tak sekolah, maka banyak yang tak bisa bekerja dengan layak. Karena banyak yang tak sekolah, banyak juga yang menjadi tidak tahu.
Mengapa bisa banyak orang-orang yang tak bersekolah? Karena malaskah?
Atau karena sekolah itu masih menjadi kemewahan di dalam kehidupan rakyat di sini?
Tapi rasanya tak mungkin sulit bersekolah. Istana Raja saja semegah itu. Dikelilingi oleh taman-taman cantik yang pastinya mahal sekali istana itu. Masa iya, Raja tak sanggup untuk menyekolahkan rakyat yang sudah setia dengannya?

Di sisi lain, bagaimana dengan mereka yang hidup serba berkecukupan, berpakaian yang sangat mewah, dengan mobil yang harganya setara dengan beberapa rumah megah? Mengapa mereka pun terjebak dalam pusara kejahatan yang berujung pada penanda bahwa mereka pun juga tidak bersekolah? Padahal kenyataannya mereka sampai bersekolah di tempat yang jauh dan menghabiskan uang yang cukup banyak untuk bersekolah.

"Apakah jawaban dari pertanyaan tersebut akan menghantarkan kita pada jawaban besar dari semua kendala-kendala ini?"  Gumam anak kecil itu.

Dia masih belum jenuh untuk menelisik semua ini. Setidaknya semua pertanyaan-pertanyaan yang tersusun dengan apik di kepalanya yang menggugahnya untuk tetap berkelana.

Jawabannya ada di sini!

Langkah anak kecil itu menghantarkan pada sebuah sekolah yang berada di sekitar tempat di mana dia bertemu dengan anak-anak seusianya tadi. Ia mengamati sekolah yang tak banyak perbedaannya dengan sekolah yang ada di dalam ekspektasinya. Seorang guru menghampiri anak itu. Belia pun tidak mau melewatkan peluang besar ini. Segeralah ia menyambut keramahan guru itu. Dengan senang hati, guru itu menemaninya dan mengajaknya untuk duduk dan minum secangkir teh hangat untuk melepas penat mereka masing-masing.

"Kau tahu? Sebenarnya jawaban atas pertanyaanmu dapat dijawab oleh siapapun! Jika aku menutup mulutku rapat-rapat, akan ada yang mampu mengoceh di mimbar dan televisi nasional untuk mewakili lidahku."  Pernyataan itu membangunkan anak kecil itu dari lamunannya. Setelah itu, dia lekas merapikan posisi duduknya untuk memerhatikan secara saksama semua yang diucapkan oleh pak guru itu.

"Segala persoalan yang ada di negara ini hanya satu dan itu sudah menjadi rahasia umum bagi publik. Pendidikan. Itulah kuncinya. Benar pendapatmu bahwa masalah yang kau lihat disebabkan karena adanya ketidaktahuan yang bersumber dari titik buta mereka yang enggan mereka lepas." Belia justru semakin bingung karena yang sedang berbicara dengannya adalah seorang guru. Bukankah guru adalah orang-orang yang bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya? Atau guru ini merupakan salah satu anggota kelompok yang lebih menyukai untuk berpangku tangan dan mulai menyalahkan segala keadaaan?

Tanpa ragu, Belia menanggapi apa yang disampaikan oleh pak guru "Tapi bagaimana bisa ada negeri yang masih lemah pendidikannya? dihantui dengan berbagai kebodohan dan ketidaktahuan sementara sekolah sudah banyak dan dilengkapi dengan guru seperti bapak dan buku-buku yang layak baca." Pak guru hanya tersenyum, sepertinya ia sudah menerka apa yang membuat raut muka Belia menunjukkan keheranannya itu. Pak guru dengan santai menjawabnya dengan sebuah pertanyaan sederhana "Kalau kamu, apakah kamu bersekolah? Jika iya, kenapa bersekolah?" Belia menjelaskan kalau dia bersekolah karena teman-teman sebayanya sekolah dan dia diminta oleh ayah dan ibunya untuk bersekolah. Selain itu, seringkali orang tuanya mengatakan kalau dia harus bersekolah supaya pintar. Pak guru tersenyum dengan jawaban Belia yang masih sangat polos untuk membahas hal seperti ini. Tetapi, jawaban itu juga yang membuat pak guru serasa mendapat energi lebih untuk menjelaskan segala yang ingin Belia ketahui.

"Jawabanmu memang tak ada salahnya. Namun, lucunya sekarang banyak orang yang bersekolah dengan kepura-puraan. Mereka tak benar-benar bersekolah. Mereka hanya mendapatkan sedikit sekali dari yang sebenarnya bisa mereka dapatkan. Aku bisa mengatakan seperti ini karena itulah yang acapkali murid-muridku tunjukkan. Mereka hanya bersekolah karena ingin bekerja. Entah menjadi insinyur, dokter, tentara, bahkan menjadi guru sepertiku. Alasannya? Memenuhi kebutuhan terkini. Yaitu mendapatkan uang dan pandangan hormat dari lingkungan sosialnya. Bisakah kau bayangkan seperti apa rupanya mereka nanti setelah selesai bersekolah? Langsung bekerja untuk mendapatkan uang semata agar tidak dicap sebagai pengangguran yang memalukan diri mereka sendiri." Belia hanya diam dengan penuh fokus memerhatikan setiap kata yang dilontarkan oleh pak guru itu.

Kemudian pak guru menjelaskan kembali "Mereka sudah lupa bahwa ada tujuan utama mereka masuk ke sekolah manapun itu. Yaitu belajar. Menjadi tahu setelah melewati banyak proses untuk berlepas diri dari ketidaktahuannya. Semua tujuan yang terlalu rumit bermekaran di kepala mereka. Mengabaikan bahwasanya ada yang lebih penting dari sekadar hasil cepat dan baik. Proses yang mereka lalui lah yang akan menentukan kedepannya akan menjadi apa mereka. Apakah mereka akan menjadi seorang yang kaya raya, atau orang yang bisa mempelajari apapun dan perlahan menjadi tangguh dan mampu bertahan di segala zaman."

Semua jawaban itu diolah dengan sangat teliti di kepala Belia. Karena satu per satu pertanyaannya menjadi terjawab lewat semua yang telah disampaikan oleh guru itu. Belia lalu kembali meyakinkan apa yang sedang disimpulkannya itu dengan bertanya "Apakah itu berarti mereka belum bisa belajar dengan merdeka?" Pak guru hanya menjawab dengan anggukan kecil.

"Tapi tidak hanya itu, Belia. Masih banyak lagi alasannya. Bukan hanya mereka yang menjadi penyebab semua ini. Orang tua, guru, keluarga, hingga tetangga mereka pun turut andil dalam menyumbang penyebab dalam  masalah ini. Saling melempar kesalahan salah satu yang sering terjadi. Bila seorang anak itu 'berhasil' maka mereka akan berebut klaim bahwa merekalah yang paling besar memberikan sumbangan atas 'keberhasilan' anak itu. Namun jika sebaliknya yang terjadi, mereka akan mulai untuk saling menyalahkan. Persis seperti yang kau ceritakan di awal. Ada orang yang saling membunuh bukan karena ketiadaan uang. Hanya saja mereka tidak tahu sepenting apa setiap peran mereka untuk 'membangun' satu orang yang kelak dapat menjadi bestari atas usahanya sendiri yang dibantu pula oleh peran orang tua, keluarga, guru, dan orang lainnya. Bukan bercerai berai untuk melepaskan diri dari tanggung jawab jangka panjang seperti itu."

"Sepertinya aku tahu sesuatu. Semua ini terjadi karena ada penyebab lebih kecil lagi yang masih terabaikan selain dari pendidikan." Tukas Belia. "Masalahnya, mereka belum bisa berpikir. Kalau saja mereka berpikir, aku yakin kalau semua masalah ini perlahan akan lenyap dan sulit untuk muncul. Karena mereka akan membayangkan setiap hal yang akan mereka kerjakan. Apa konsekuensinya, apa manfaatnya, dan lain sebagainya. Ditambah, mereka pasti bisa tahu apa saja yang perlu mereka persiapkan, dan itu semua seharusnya mereka bisa lakukan karena mereka belajar dan berpikir kan?" Mendengar itu, pak guru hanya melihatnya sebentar dan tersenyum sambil mengatakan

"Ya, mungkin kamu benar. Masih banyak yang tidak atau sedang bersekolah, namun tidak semuanya yang bisa menikmati belajar dan berpikir."

Apa selanjutnya?

"Lantas, setelah ini apa ya yang perlu dilakukan?" Tanya Belia.
"Sederhana. Terus berpikir. Aku rasa kau pun sudah banyak tahu dari obrolan sore ini, Belia. Dari semua itu kau bisa simpulkan. Kedepannya akan seperti apa dirimu, lingkunganmu, negerimu. Apakah tetap berada dalam semua kebaikan semu ini atau perlahan berubah lebih pasti mengarah ke kebaikan atau keburukan. Yang jelas, pelajarilah apapun yang kau mau pelajari, pikirkan apa yang perlu kau pikirkan, dan jadilah apapun yang kau inginkan. Selama itu semua bisa menjadikanmu dan negerimu terus bergerak ke arah yang lebih baik. Karena orang-orang sepertimu akan selalu dibutuhkan di negeri ini." Tutur pak guru yang mulai melihat jam tangan tuanya yang menunjukkan pukul 6 sore dan mengajak Belia untuk pulang ke rumah masing-masing.

Lekas setelah percakapan panjang dan menyenangkan itu selesai, Belia melangkah menuju ke rumahnya dengan menggenggam semua pertanyaan dan jawaban yang tersimpan dengan rapi di memorinya.

Mulai dari hari ini, Belia tahu betapa banyak pekerjaan yang harus segera dimulai di negerinya. Mengembangkan akal sehat menjadi gagasan utama atas segala yang harus dikerjakan. Kita hanya akan terus terjerembab pada perkara yang sama bila krisis berpikir masih melingkari kita semua. Tentu, ini akan menjadi perjalanan yang panjang nan menantang untuknya. Setiap hari, dia akan selalu lahir dengan pertanyaan-pertanyaan baru yang akan ia telusuri jawabannya.

Sementara, saya sebagai lawan bicaranya di sore hari ini dengan senang mengamati dan menanti kedatangannya dengan segala pertanyaan liarnya.

Bagaimana denganmu?
Siapkah untuk merancang sebuah perjalanan?









Comments

Popular Posts