Bertaruh Melawan Tiga Dimensi
Biasanya, cerita-cerita akan diawali dengan mereka, si pemeran utama dalam ceritanya sendiri yang bertanggung jawab atas apa yang mereka mulai, yang akan menggagas impiannya, dan menghimpun segenap ambisi untuk jadi modal awalnya, mereka akan dibangunkan oleh bunyi alarm yang meruak ke segala sudut ruang istirahatnya. Sembari memberitahu jam berapa yang ditunjukkan oleh jam yang membuatnya harus berjuang membuka kedua kelopak matanya itu.
Lain cerita di sini. Ceritanya berawal
dari malam-pagi yang tidak terbatas. Iya, tidak dibatasi oleh tidur. Waktu yang
panjang untuk menyicil perenungan. Setidaknya perenungan perihal diri sendiri.
Bagaimana boleh tidur kalau pikiran
saja entah berkeliaran di mana dan ingin ke mana?
Bagaimana boleh tidur kalau untuk
waktu-waktu yang akan datang pun belum terbesit akan melakukan apa dan mencari
apa?
Bagaimana boleh tidur kalau merasa tak
nyaman ketika melangkahkan kaki walaupun sejengkal saja.
Memang benar kata orang, hidup itu
berbalut waktu. Waktu lampau, sekarang, dan yang akan datang akan selalu
menjadi latar hidup orang-orang. Termasuk saya dan kalian.
Waktu lampau menjadi sejarah. Yang
perlu diingat, sejarah bukan hanya sekadar bahan nostalgia. Lebih dari itu,
sejarah akan membentuk masa kini dan yang akan datang. Sejarah akan menjadi
informasi awal untuk banyak hal. Menjadi pertimbangan untuk beberapa keputusan
kecil maupun besar. Bukan begitu?
Masa depan? Apa yang saya harapkan
dari masa depan, ya?
Mereka bilang, masa depan adalah hasil
dari rajutan usaha-usaha yang menjadi bukti nyata dari adanya obsesi di hidup
seseorang. Mereka yang punya bayangan akan menjadi apa nantinya, berarti mereka
sudah pernah coba mendekati masa depan, masa yang tampak dekat tetapi sayangnya
tidak akan pernah bisa dicapai. Ada satu per sekian satuan waktu yang menjadi
pembatas antara kita dan masa depan. Masa itu akan selalu mengungguli kita,
yang saat ini dan seterusnya berpangku masa kini.
Masa kini, merupakan akumulasi dari
masa lalu. Apa yang kita alami di masa lalu, sedikit banyaknya akan menjadi
faktor pengaruh untuk masa kini. Mereka yang dulunya pernah berada di bangku
sekolah, boleh jadi hari ini sedang duduk di kelas dan mendengarkan ceramah
dari dosennya yang merupakan seorang Profesor di bidang tertentu. Mereka yang
dulu pernah belajar menjahit, mungkin saja sedang duduk di hadapan mesin jahit
dan membuatkan baju untuk anak kesayangannya.
Masa kini di cerita saya dipenuhi
dengan berbagai ketakutan dan ketidakpercayaan.
Saya takut dengan berbagai hal yang
ada di sekitar saya. Hal yang dapat saya rasakan dengan seluruh saraf yang saya
miliki dan berakhir dengan dicitrakan sebagai “hal yang menakutkan” oleh
pikiran sendiri. Takut akan diri sendiri, takut akan berbagai kekhawatiran yang
mungkin saja terjadi, takut akan berbagai tujuan dan rencana yang mungkin tidak
akan sampai, hingga…
Takut akan tidak mungkin merasakan
kebahagiaan.
Boleh jadi ambisi saya terlalu besar
untuk mengarahkan kehidupan saya ke arah manapun yang saya kehendaki.
Harus menjadi seperti ini, dapat
melakukan itu, hingga dapat menguasai ini dan itu.
Saya lahir dan besar dengan angka. Tak
pernah besar dengan keyakinan dan kepasrahan. Probabilitas sudah
memiliki kamar sendiri di dalam pikiran saya. Macam Tuan Besar, kurang lebih.
Dia sungguh dihormati ketika seluruh isi pikiran sedang berunding akan sesuatu.
Setiap permasalahan yang muncul,
setiap inci yang ada di pikiran saya mungkin akan langsung bergerak sesuai
dengan pola yang biasa dilakukan. Sampai lahirlah yang disebut sebagai rencana.
Boleh dikatakan, rencana selalu membantu saya untuk lebih leluasa bergerak ke
sisi manapun yang hendak saya tuju.
Selalu ada
rencana untuk semuanya, bukan?
Bisikan itu selalu menjadi penghibur
saya. Setiap saat ketika saya perlu pertolongan yang berasal dari diri sendiri.
Tapi untuk saat ini, rasanya tidak
terdengar walaupun sayup-sayup. Untuk kali ini, jalan buntu yang lebih
terlihat. Seperti tidak ada rencana yang dihasilkan di perundingan isi pikiran.
Boleh jadi hanya sekadar untaian masalahnya saja yang dibahas lalu ditinggal
pergi begitu saja, sembari ada yang kembali datang dan membawa tumpukan masalah
baru yang entah kapan akan menemui penyelesaiannya.
Kembali ke titik di mana saya dapat
melihat masalahnya. Sepertinya ini akan rumit. Memakan waktu, melibatkan ketiga
dimensi waktu itu pun sudah pasti.
Mulai kembali mengarsipkan memori di
masa lalu, melihat satu per satu yang sudah ada di dalamnya. Rasanya akan
sedikit berguna nantinya.
Mulai perlu kembali ke keadaan
sekarang, dimana ada yang sudah dimulai, perlu untuk diselesaikan.
Perlu melihat ke masa depan, bagaimana
gambaran saya nantinya di masa depan dengan berbagai skenario yang mungkin saja
terjadi.
Belum selesai, belum terlambat.
Sepertinya, samar-samar terlihat ada
sedikit kemungkinan dari sekian banyaknya kemungkinan yang layak untuk
dipertaruhkan.
Jakarta, 15 September 2022
Andi Ilham Razak
Comments
Post a Comment