Perihal memberi dan memakan beras

Oh, bukan. 

Ini bukan tulisan yang membagikan informasi seputar diet rendah kalori seperti anjuran konsumsi beras merah ataupun mengenai urgensi sedekah dan infak beras seperti kebanyakan dari kita sudah pernah atau (semoga) rutin dilakukan. 

Tapi jika anda punya waktu luang, silakan tetap di sini bersama sekumpulan kalimat yang telah saya rangkai ini. Ada yang sedang ingin saya bagikan. Semoga anda tidak merasa terbuang waktunya begitu saja untuk masuk ke dalam laman blog ini. 

Siapkah untuk membaca? Atau perlukah untuk mendengarkan lagu dan menikmati minuman hangat? Silakan dipersiapkan.

Dulu, saya pernah mendengar ada pepatah (yang diyakini berasal dari Cina) yang bila diterjemahkan kurang lebih akan seperti ini

"Siapa makan berasnya siapa, akan menjadi siapa

Saat itu saya masih sekolah. Di tingkat SMP tepatnya. Untuk orang yang jarang berdiskusi dan membaca kala itu, pepatah ini tidak bisa saya langsung fahami setelah mendengarnya.  

Lalu kembali dijelaskan apa maksud dari pepatah ini. Pepatah itu bermakna bahwa lambat laun kita akan mengikuti sedikit banyak karakter atau sikap yang dimiliki oleh orang yang selama ini kita ikuti. Entah karena tinggal, belajar, bekerja di tempat yang sama. 

Skeptis, ini respon pertama yang terbentuk di pikiran saya setelah mendengar maksud dari pepatah itu. Lagi-lagi, karena saya belum memiliki pengetahuan yang cukup untuk mencerna tafsiran pepatah itu.

Mendengar, menyimpan, menyimpan, dan belum dipikir.  

Tapi bila dipikir-pikir kembali, sepertinya menarik untuk mengurai pepatah ini. 

Mengikuti

Coba lihat bagaimana bayi mulai tumbuh dan berkembang. Hingga akhirnya mereka dapat melakukan berbagai hal. Mulai dari bagaimana mereka dapat berjalan, hingga bagaimana mereka dapat membunyikan setiap huruf dengan fasih sampai akhirnya dapat memahami dan menggunakan kata-kata untuk menyampaikan pesan.

Di lain sisi, kita refleksikan bagaimana kita pada saat ini dan kita di satu bulan, satu tahun, ataupun di beberapa waktu sebelum sekarang. Apakah ada perbedaannya? Dari sisi penampilan morfologis, bagaimana cara berpenampilan, pembendaharaan bahasa, atau apapun itu yang bisa menjadi tolak ukur dari kita di masa kini dan kita di masa lalu. 

Irisan dari kedua timelapse tersebut adalah bagaimana cara kita mendapatkan kedua hal tersebut. Dengan cara diajarkan dan belajar dari orang lain ataupun media yang ada di sekitar kita. anak kecil dapat meniru suara sepeda motor karena setiap harinya ia mendengar deru mesin sepeda motor. Kita dapat menemukan sintaks untuk mengatasi masalah sehari-hari pun karena kita belajar dari orang di sekitar kita dan media di sekitar seperti buku ataupun video. 

Imitasi. Ini salah satu hal yang saya ingat ketika mempelajari sosiologi semasa SMA. Salah satu bentuk proses interaksi sosial yang umum terjadi di sekitar kita. Sesuai dengan istilahnya, imitasi merupakan perilaku seseorang meniru tindakan orang lain.  Secara sadar atau tak sadar, kita pun sudah mengikuti sesuatu dari orang lain berdasarkan apa yang kita lihat selama ini. Entah dari keluarga, teman, guru, mentor, ataupun idola. 

Menurut kalian, apa yang mendasari kita dapat mengimitasi hal yang ada pada orang lain? 

Adanya keinginan ataupun kebutuhan, bukan?

Ini menandakan ada yang kita setujui pada diri orang lain yang (sepertinya) perlu atau tak salah untuk kita coba terapkan pada kehidupan kita. Baik secara terpaksa atau tidak terpaksa. Mulai dari cara berpakaian, cara berjalan, hingga cara berpikir. Walaupun saya secara pribadi tidak terlalu suka untuk mengimitasi, Selain karena terlihat tidak otentik dan "konsumtif", ini dapat menghantarkan orang-orang untuk menjadi fanatik. Fanatik seperti yang kita lihat hingga saat ini sangat dekat dengan kebodohan karena dapat mengakibatkan orang menolak kebenaran yang diuji secara empiris yang kontradiktif dengan apa yang ia yakini dari objek fanatismenya. 

Apa yang ada di sekitar kita, dapat mempengaruhi seluruh aspek diri kita sendiri. Karena ada bagian dari orang lain atau lingkungan yang kita setujui untuk diterapkan ke kehidupan kita. Itulah "beras" yang kita makan sehari-hari. Segala yang diberikan oleh lingkungan untuk kita. 

Diikuti

Bagaimana bila kita melihat dari sisi lainnya? 

Dari adanya interaksi sosial berupa imitasi, maka apakah selama ini secara tidak sadar ataupun tidak langsung kita juga menjadi objek imitasi?

Walaupun kita bukan seorang yang tersohor seperti figur publik yang dapat kita lihat eksistensinya lewat karya yang dipublikasikan di media, tetapi di sekitar kita ada orang-orang yang berinteraksi dengan kita. Terlepas dari siapa mereka dan bagaimana intensitas kita berinteraksi dengan mereka. 

Dari interaksi itu, tidak menutup kemungkinan ada opini, pengalaman, ataupun hal-hal morfologis yang disetujui oleh orang-orang di sekitar kita dan itu menginspirasi mereka untuk mengikuti apa yang kita lakukan. Seperti seorang kawan yang pernah mengatakan ini pada saya:

"Kita tidak tahu apa yang orang lihat dari kita. Hal yang kita rasa remeh untuk dianggap sebagai pemberian pun bisa berarti besar untuk orang lain dan itu tidak menutup kemungkinan dapat mengubah apa yang ada pada mereka"

Saya sepakat dengan hal tersebut. 

Dulu, saya tidak terlalu ingin tahu tentang kabar orang yang sedang saya temui atau ajak bincang via telefon ataupun pesan singkat (yang kadang tidak singkat). Namun, orang-orang di sekitar saya ada yang selalu mengawali pembicaraan dengan menanyakan kabar saya, hingga kabar keluarga saya. Dari sana saya belajar untuk mengetahui kondisi lawan bicara sehingga dapat menyesuaikan apa yang akan saya sampaikan ataupun diskusikan selama pembicaraan dengan mereka berlangsung. 

Sekadar info, mereka bukan "influencer" dengan total jumlah pengikut di media sosial yang angkanya terbilang fantastis. Mungkin kalian pun tidak tahu siapa mereka bila saya sebutkan namanya satu per satu.

Tapi mereka mengubah sebagian hal dari diri saya. 

Melihat fenomena itu pun saya berasumsi bahwa sebenarnya,  setiap dari kita adalah potential influencer untuk orang-orang yang ada di sekitar kita. Mulai dari lingkup rumah, sekolah, kampus, kantor, ataupun lingkup lain yang sehari-hari kita datangi. 

Menimbang

Seringkali ketika kita di depan anak-anak, orang di sekitar kita selalu mengingatkan untuk berhati-hati dengan apa yang kita sampaikan atau lakukan ketika masih ada di depan mereka. Karena tidak menutup kemungkinan kalau nantinya mereka akan meniru apa yang kita lakukan atau ucapkan. 

Lalu, bagaimana bila terbukti pada beberapa anak mereka tidak dengan mudah meniru apa yang mereka lihat dan mereka rasakan di sekitar mereka? Apakah artinya imitasi tidak berlaku pada mereka? Atau, mereka sudah cukup pintar untuk mengelola informasi yang masuk pada mereka?

Jawabannya, mungkin iya, seperti itu ataupun juga tidak. Ingat, setiap orang termasuk anak kecil memiliki memori pada otaknya. Memori akan dikeluarkan dalam bentuk ekspresi kapanpun kita mau. Seperti contoh, walaupun tren Michael Jackson sudah lama sekali terjadinya dan sudah tergantikan dengan banyaknya tren pada saat ini, apakah kita tetap dapat menyanyikan lagu Michael Jackson yang kita ingat sembari menirukan gayanya? Tentu saja bisa, kan?

Pertimbangkanlah apapun yang akan kita berikan pada lingkungan kita. Dari segi kuantitas ataupun kualitasnya. Karena setiap dari laku dan ucapan yang sudah keluar ke lingkungan, akan banyak orang yang memerhatikan ataupun tidak sengaja menangkapnya dan menyimpan itu semua ke dalam memorinya. Apalagi jika dilakukan berulang-ulang, informasi yang semula disimpan pada memori jangka pendek di otak kita, akan dipindahkan ke memori jangka panjang yang artinya akan lebih lama masa penyimpanannya dan dapat kita mengingatnya suaru saat baik secara sengaja atau tidak disengaja. 

Berhati-hatilah dalam "memberi beras" kepada orang-orang di sekitar kita. Buatlah mereka kenyang, tetapi tidak lupa dengan memerhatikan "kesehatan" mereka dari apa saja yang kita berikan pada mereka baik secara langsung atau tidak langsung. 

Begitupun dengan sebaliknya. Sebanyak apapun yang lingkungan berikan, perlu ada pemilahan dan  penyesuaian terkait apa yang akan kita terapkan ke diri sendiri. Karena setiap orang memiliki kondisi diri dan lingkungan yang berbeda. Saya lebih memilih apa yang saya lihat dan rasakan dari lingkungan sekitar sebagai informasi yang akan disimpan lalu dijadikan kombinasi. Cara kepemimpinan, misalnya. Saya mendapatkan beberapa referensi terkait hal ini. Mulai dari apa yang saya baca pada Qur'an, buku John C. Maxwell "21 Tipe Kepemimpinan", hingga rekomendasi dan evaluasi diri saya yang didapat dari beberapa orang yang cukup mengenali saya dengan baik.   

Masa Depan

Jujur, saya tertarik memikirkan hal ini karena ini merupakan hal yang terlihat remeh tetapi krusial.

Figuritas. Indonesia masih tergantung dengan hal ini. Merasa tidak memiliki kekuatan dalam identitas diri sehingga memerlukan seorang figur yang menjadi panutannya dalam hidup. Ini juga berpotensi memunculkan masalah pada beberapa figur yang memiliki fanatik yang cukup banyak (satu orang fanatik pun cukup mengkhawatirkan). Saya membaca salah satu hasil penelitian dari Eliani et al. (2018) yang meneliti tentang hubungan antara fanatisme terhadap suatu figur dengan perilaku agresif verbal. Ternyata didapatkan hasil positif dari 915 sampel penelitian yang diuji. Selain itu pun kita dapat melihat dari media sosial ataupun berita di televisi adanya fanatisme yang diiringi dengan hal-hal destruktif. 

Ketidakmampuan untuk berpikir logis dan menganalisis situasi serta masalah yang ada ditambah dengan fanatisme dapat mendangkalkan cara menangani masalah serta ketergantungan terhadap satu orang atau kelompok yang kebenarannya pun tidak selalu stabil. Karena mereka juga manusia yang derajat kepercayaannya tidak dapat selalu konstan seiring berjalannya waktu. 

Kemampuan literasi per individu memang perlu dimulai dan ditingkatkan. Memang, ini masih menjadi PR besar untuk kita semua baik secara personal ataupun kelompok. Mulai dari diri sendiri kembali menjadi solusi yang mudah untuk dimulai. Melepaskan diri dari berbagai fanatisme yang holistik, mulai belajar membaca, menyimpan informasi, menarik kesimpulan, hingga berdiskusi dengan banyak kalangan harus selalu dilakukan. Semakin kaya informasi, maka dapat menghasilkan kombinasi dari berbagai pola pikir, opini, ataupun gaya yang dapat kita terapkan pada diri kita.

Selain itu, kita dapat memberi dan memakan "beras" yang selalu terjamin baiknya. 

Terima kasih!

"Kita yang ada pada hari ini adalah hasil bentukan kita pada masa lalu". Setidaknya itu yang pernah saya dengar ataupun baca. Setelah merefleksi kembali, saya juga berpikir demikian. Saya yang ada pada hari ini, yang baru saja menyelesaikan artikel ini, adalah hasil pergelutan dengan masa lalu saya. Mulai dari dengan siapa saya bercengkrama, hingga buku dan artikel apa saja yang sudah saya baca.

Terima kasih untuk semuanya, khususnya orang-orang baik di sekitar saya. Mungkin kalian sudah lupa dengan apa yang kalian sampaikan, kalian berikan, hingga lakukan untuk saya. Terlepas pula apakah itu "positif" atau "negatif", itu semua membangun personalitas saya pada saat ini. 

Terus berbuat baik, teruslah memakan dan memberikan "beras" yang baik dari segi apapun. Sehat selalu untuk semua yang berusaha berlaku dan bertutur baik.

Referensi

Eliani, Jenni., Yuniardi, Salis M., & Matsurah, Nabilah A. 2018. Fanatisme dan Perilaku Agresif Verbal di Media Sosial pada Penggemar K-Pop. Psikohumaniora: Jurnal Penelitian Psikologi. 3(1): 59-72

Meltzoff, Andrew N. & Williamson, Rebecca A. 2015. Imitation: Social, Cognitive, and Theoretical Perspectives. London: Oxford University Press

Comments

Popular Posts