Mahasiswa Kok Dilawan (?)

 


Saya jadi teringat, selama berkuliah, dulu seringkali melihat beberapa mahasiswa yang sangat beragam dan cukup membantu saya mempelajari beberapa hal yang saya perlukan. Ada yang berbuat seenaknya seperti menyerobot antrean menuju lift, membuang sampah sembarangan, ataupun yang cukup memotivasi seperti diskusi dan beradu argumen antar mahasiswa atau dengan dosen dan birokrat kampus. Setiap saya melihat hal-hal yang menarik di kampus, saya selalu bilang dalam hati "mahasiswa kok dilawan?"

Membahas tentang mahasiswa, belum lama ini, setelah banyak yang menanti adanya respon dari mahasiswa dengan keanehan-keanehan nalar pemerintah dalam menanggapi problematika baik skala mikro hingga makro, mereka datang dengan sindiran yang cukup 'menyakitkan' bagi saya. King of Lip Service. Itu yang setidaknya gelar yang diberikan oleh BEM UI kepada Presiden Jokowi.

Hmm.. Jadi, beliau ini sebenarnya Raja atau Presiden ya? 

Ah, memang tidak penting karena itu intermezzo saja. Tapi yang perlu diketahui, setelahnya ada respon dari pihak kampus sendiri dengan meminta pihak yang bersangkutan untuk menghapus unggahan mereka terkait Jokowi, King of Lip Service yang tak lama, Presiden sendiri juga memberikan tanggapan atas unggahan yang dibuat oleh organisasi mahasiswa tersebut. 

Yang perlu digaris bawahi untuk dibahas saat ini adalah, apa itu lip service , mengapa Presiden Jokowi dikatakan sebagai King of Lip Service , hingga mengapa unggahan tersebut perlu dihapus dari laman media sosial? 

Sumber : instagram @bemui_official



Pernah dengar lip service sebelum ini? Buat yang belum, lip service dapat diartikan seperti ekspresi menyatakan kesetujuan terhadap sesuatu yang diminta atau disampaikan orang lain tanpa adanya tindakan sebagai wujud keseriusan dari kesetujuan yang pernah disampaikan. Kurang lebih seperti itu yang akan anda temukan di beberapa laman termasuk di cambridge dictionary. Dengan kata lain, lip service ditujukan pada mereka yang tak mampu merealisasikan apa yang sempat mereka sampaikan. Entah itu gagasan atau rencana yang berkaitan dengan diri sendiri ataupun akan memberikan dampak pada hajat hidup orang lain. 

Lalu, mengapa seorang pemimpin negara dikatakan seperti ini?

Dapat kita melihat di banyak media terkait apa yang pernah dijanjikan oleh Jokowi selama masa pencalonannya dua kali pada pilpres 2014 dan 2019 yang menghantarkannya hingga menjabat selama dua periode hingga saat ini. Contohnya adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia,penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya, perlindungan bagi segenap bangsa dan memberikan rasa aman untuk warga, dan masih ada beberapa janji yang lain dan dapat diakses di beberapa media berita.

Misi yang dijanjikan memang terdengar cukup baik karena dapat terintegrasi satu sama lainnya untuk membangun negara. Bila banyak warga menjadi SDM yang kompeten di masing-masing bidang, warga dapat terlindungi untuk menjalankan kehidupan sehari-hari, ditambah dengan penegakan hukum yang bebas dari korupsi maka tidak menutup kemungkinan adanya perbaikan dari beberapa sektor terutama ekonomi. Sayangnya, sampai saat ini yang terjadi adalah regresi dari semua imajinasi yang baru saja saya konstruksi setelah membaca sederet janji Jokowi selama menarik suara rakyat untuk menang di perhelatan pilpres RI. 

Belum lama ini, misalnya. Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), SDM di dalam institusi tersebut akan dialihkan statusnya menjadi aparatur sipil negara (ASN) yang umum kita kenal dengan istilah pegawai negeri sipil (PNS). Tentu akan mengundang perhatian publik karena ASN berkewajiban untuk menjalani kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah dan ini telah diatur oleh undang-undang (UU) no.5 tahun 2014 tentang aparatur sipil negara. Sementara kita lihat, masyarakat pun sudah dibuat lelah dengan rumitnya alur birokrasi. Bagaimana nanti pegawai KPK akan menjadi ASN? Independensi semakin terkungkung karena dibawah naungan pemerintah. Memperkuat KPK tidak sebercanda itu, pak. Yang ada adalah melindungi independensi KPK dengan mengakomodasi segala keperluan KPK termasuk melindungi hak asasi pegawai dan keluarganya. Bukan hanya perkara gaji yang menjadi dalih untuk "menghijrahkan" pegawai KPK menjadi ASN. Di kondisi seperti ini saja, sudah beberapa pejabat dari berbagai level pemerintahan yang telah ditangkap atas dugaan tipikor. Jadi, apakah bebas korupsi sudah diupayakan dengan serius atau ini hanya upaya di dua tahun lalu untuk jawaban pemuas kegundahan masyarakat yang makin jemu akan banyaknya kasus korupsi yang beredar di media ketika mereka sedang mengharapkan bantuan dari pemerintah untuk membantu kehidupan mereka?

"Berani jujur, hebat!" kini berubah menjadi "Berani jujur, pecat!"
Walaupun sudah ada yang pernah mengoreksi ini, kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara tidak bisa dikoreksi semudah itu.

Tak hanya pegawai KPK yang keamanan dan kenyamanannya terganggu. Masyarakat pun demikian. UU ITE selalu menghantui setiap orang dalam menuangkan segala isi pikirannya dalam media sosial apapun itu. Bukannya mendalami kasus yang dilaporkan dengan barang bukti, justru pemilik atau pelapor barang bukti yang dicari. Hasil dari lahirnya UU ITE dapat dilihat hingga saat ini. Tak sedikit orang yang menjadi korban dari beberapa pasal tersebut. Pencemaran nama baik misalnya. Bila kita kaitkan dengan kritik yang disampaikan oleh BEM UI kepada Presiden Jokowi, apakah ini akan menuntun mereka menuju ke meja hijau? 

Hukum saat ini lebih sibuk mengurusi ketersinggungan satu sama lain dibandingkan menegakkan keadilan. 

Setelah melihat sedikit dari beberapa hal yang sedang terjadi di negara ini, tidak salah bila sebagian masyarakat menyebut Presiden sebagai King of Lip Service karena masih banyak yang hingga kini belum terlihat direalisasikan. Belum lagi kasus pelanggaran HAM yang sudah dijanjikan untuk diungkap seperti hilangnya Wiji Thukul ataupun kematian Munir Said Thalib yang hingga saat ini belum diungkap secara resmi oleh pemerintah dan hanya menjadi rumor yang tak berujung di kalangan masyarakat. 

Tapi seharusnya kita semua berterima kasih kepada Presiden Jokowi, termasuk BEM UI. Karena semenjak beliau menjabat jadi presiden, khususnya ketika pencalonannya di pilpres 2019, kesadaran orang untuk memulai belajar tentang apa itu politik sudah mulai berkembang. Walaupun masih harus tetap dikawal supaya dialektika yang muncul semakin meningkat kualitasnya. Tidak hanya berkisar pada bahasan hoaks, pancasilais, toleransi, atau benar salah yang tidak jelas parameternya. 

Mahasiswa kok dilawan? 

Mahasiswa seharusnya diajak untuk berargumen dan menyampaikan kritik-kritik yang berdasarkan data dan kajian yang matang. Menyiapkan mahasiswa sebagai agent of change bukan hanya tugas organisasi mahasiswa, dosen, dan masing-masing mahasiswa. Tapi juga pemerintah yang menaungi mahasiswa lewat beberapa kementrian yang terkait secara langsung atau tidak langsung. Bila masih gagal, maka sama saja tidak mampu menjalankan kewajibannya yang telah diamanatkan dalam pembukan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, dan itu hanya akan dapat terlaksana bilamana pemerintahnya sendiri memiliki intelektualitas yang mampu menjawab permasalahan dan berpikir secara logis. 
 
Mahasiswa kok dilawan? 

Sudah berapa kali mahasiswa berupaya mengoreksi upaya yang dilakukan pemerintah dikarenakan adanya kesalahan termasuk kurangnya memerhatikan beberapa aspek yang perlu dipertimbangakan dan berdampak pada lahirnya beberapa kebijakan yang berpotensi menyusahkan rakyat dibandingkan menyejahterakan rakyatnya. Melawan mahasiswa dengan upaya represif tidak akan membungkam mereka sepenuhnya. Justru itu dapat menggugah mereka untuk semakin bergerak karena mereka semakin yakin, yang sedang mereka kritik sudah tidak mampu menyembunyikan kegagalannya dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang telah diamanatkan oleh negara kepadanya. 

"Satu-satunya cara untuk menghadapi dunia yang tidak bebas adalah menjadi benar-benar bebas sehingga keberadaan Anda adalah tindakan pemberontakan" -Albert Camus

Jakarta, 4 Juli 2021



Andi Ilham Razak

Comments

Post a Comment

Popular Posts