Berlayar

Saya tidak terlalu suka berbagi pengalaman yang sangat personal. Oleh karenanya akan sulit menjumpai saya menulis cerita pribadi. Umumnya hanya opini tentang isu tertentu yang cukup menggugah saya untuk memberikan tanggapan terhadap hal-hal tersebut ataupun tulisan mengenai pengembangan diri (Self Improvement). Namun kali ini sepertinya saya tertarik untuk mencoba menulis hal yang baru saja saya alami. Anggap saja ini upaya saya mengembangkan keterampilan dalam menulis agar tidak menjenuhkan.


Sumber : http://www.supercoloring.com/drawing-tutorials/how-to-draw-a-pirate-ship


Sedari awal, saya berniat untuk kuliah di pendidikan biologi. Iya, pendidikan. program studi yang dikenal akan menghasilkan calon-calon pendidik yang nantinya dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, walaupun peminatnya lebih sedikit dibanding jurusan atau program studi lain khususnya bagi mereka yang sudah lama di kota-kota besar (dan untuk laki-laki). Lalu mengapa saya tetap mengambilnya, akan menjadi cerita yang cukup panjang dan entah, apakah anda akan memercayainya atau tidak. Empat tahun saya kuliah, mencoba mempelajari banyak hal selama berkuliah di sana, yang semakin menyadarkan saya bahwa menjadi pendidik tidak semudah yang dibayangkan. Aspek pedagogik dan kompetensi bidang terkait perlu dipelajari yang tidak dapat dikatakan mudah seperti kita menyajikan presentasi di depan audiens. Selama empat tahun itu pula, banyak hal yang membuat saya teradaptasi sehingga tidak sedikit dari diri saya yang berubah selama saya kuliah, berorganisasi, mulai mengajar di beberapa tempat, hingga nongkrong. Pola pikir dan cara bernalar pun sudah mulai berubah semenjak fase ini.

Setelah lulus, saya kembali evaluasi diri saya mengenai apa yang sudah saya capai selama saya berkuliah. Ternyata, saya jauh dari kata layak untuk mulai menjadi pengajar, apalagi guru. Sebagian dari anda yang membaca ini mungkin merasa bingung karena saya menggunakan istilah guru dan pengajar pada kalimat sebelumnya yang selama ini kita ketahui keduanya sama saja. Karena tugas guru adalah mengajar, maka guru yang biasa kita temui di institusi pendidikan manapun dapat kita katakan juga sebagai pengajar, bukan? 

Menurut saya secara pribadi, yang sebenarnya adalah terdapat perbedaan pada keduanya. Pengajar memiliki tanggung jawab untuk transfer ilmu pengetahuan kepada siswa yang sudah ditetapkan oleh kurikulum dengan berbagai metode penyampaian. Fokusnya hanya itu saja. Indikator keberhasilan dari pengajar dapat kita lihat dari banyaknya siswa yang mulai mengerti konsep dari pembahasan-pembahasan materi yang telah disampaikan dan mampu mendapatkan hasil yang terbilang baik (memenuhi standar kelulusan) ketika dievaluasi dengan ujian atau penugasan. Sementara guru, apa yang harus mereka lakukan lebih banyak dibanding itu semua. Bagaimana cara siswa mengenali diri mereka jauh lebih baik, mempunyai kebiasaan belajar (sesuai dengan cara mereka), membantu mereka agar mencapai target pribadi mereka merupakan beberapa contoh di antara banyaknya tanggung jawab seorang guru di lembaga pendidikan. Jadi, saya merasa apa yang sudah saya dapatkan dan mampu saya implementasikan pun belum dapat dikatakan mampu untuk memenuhi kompetensi yang dibutuhkan oleh pengajar, apalagi guru. Tapi itu semua hanya opini pribadi, bukan definisi yang menjadi referensi untuk panduan menjadi seorang guru.

Belakangan ini saya mengajar, termasuk di sekolah. Semenjak mengajar saat kuliah pun saya lebih sering mengajar siswa-siswi SMP dibanding SMA. Entah, mungkin karena rezekinya memang itu untuk saat itu hingga sekarang. Selama itu pula ternyata terbukti, masih banyak perkara yang perlu dievaluasi lagi supaya semakin layak menjadi seorang lulusan kependidikan yang (setidaknya) dapat memenuhi kriteria menjadi seorang pengajar, yang nantinya akan berproses lagi untuk menjadi guru. 

Saya ingat betul, ketika saya menentukan rencana judul penelitian saya, motivasi belajar menjadi variabel terikat yang saya pilih dibandingkan variabel yang terbilang "kekinian" seperti critical thinking karena kita diminta untuk mulai menumbuhkan kemampuan siswa supaya memiliki HOTS (Higher Order Thinking Skill). Pada saat itu saya berpikir seperti ini, kurang lebih:

"Bagaimana bisa siswa-siswi itu berpikir kritis, mengatasi persoalan yang cukup rumit di berbagai pelajaran yang ada di sekolah sementara mereka sendiri belum berminat untuk belajar dan itu salah satunya adalah motivasi belajar mereka kurang. Lebih baik kita selesaikan permasalahannya dari segi yang lebih dasar dulu dibanding hal-hal yang lebih sulit dicapai seperti kemampuan berpikir. When there's a will, there's a way, right?"

Itu yang membuat saya (dengan percaya diri) memilih topik ini walaupun tak jarang beberapa orang mempertanyakan, bahkan menganggap saya terlalu malas untuk mengambil topik yang lebih menarik untuk diteliti ditengah banyaknya pihak yang ingin mempercepat persiapan kita dalam menghadapi gempuran industry revolution 4.0

Ditambah dengan kondisi pandemi yang mengharuskan semuanya teradaptasi dengan cepat, termasuk di bidang pendidikan, PJJ atau pembelajaran jarak jauh hadir untuk mengatasi masalah kegiatan pembelajaran tatap muka tidak memungkinkan untuk diselenggarakan di tingkat pendidikan awal hingga perkuliahan. Namun, tak sedikit yang tidak siap bahkan tidak mampu teradaptasi dengan baik dengan kondisi seperti ini. Termasuk siswa dan guru sendiri sebagai bagian dari proses belajar. 

Setelah satu tahun ajaran selesai, segera saya evaluasi lagi apa saja yang masih jadi permasalahan selama saya mengajar. Dimulai dari segi personalitas, model dan metode mengajar yang umum saya gunakan selama kegiatan belajar berlangsung, bagaimana proses mengirim informasi penting berupa konsep keseluruhan dan poin-poin penting dari setiap materi yang perlu diajarkan, hingga kualitas dan kondisi perangkat dan jaringan yang digunakan selama mengajar via daring pun menjadi evaluasi besar karena tak jarang membuat siswa menjadi bingung ataupun malas karena sulitnya mendengar apa yang saya sampaikan secara jelas. Memang, ada faktor yang bisa dikontrol ada juga yang tidak. Kualitas jaringan internet, misalnya.

Dari sini bisa dilihat bahwa keberhasilan proses belajar bukan hanya bergantung pada guru. Semua unsur terlibat. Siswa, orang tua, keluarga, lingkungan, hingga perusahaan yang berkaitan dengan berjalannya proses pembelajaran pun juga turut mempengaruhi bagaimana proses pembelajaran berlangsung. Kita semua bukan orang-orang yang hanya menyudutkan siswa ketika kita anggap mereka "belum mampu" dikarenakan pada beberapa subyek mereka selalu mendapatkan angka yang rendah di evaluasi pembelajarannya. Tapi dari situasi seperti itu, kita berperan sebagai orang yang sama-sama belajar. Karena tidak menutup kemungkinan, kita lah yang menjadi evaluasi terbesar atas permasalahan yang muncul selama ini. 

Iklim belajar kita saat ini sudah sangat berbeda dan jauh tuntutannya. Tidak lagi sekadar menghafalkan materi, menerangkan di depan kelas, lalu siswa hanya mengangguk tanda mengerti (ataupun supaya kegiatan belajar mengajar cepat selesai). Lebih dari itu, kita harus belajar untuk menemukan dan mengerti bagaimana cara kita bisa belajar, bagaimana kita mengolah semua informasi yang kita miliki lalu mensintesis itu semua menjadi ide ataupun argumen, hingga belajar untuk menggunakan nalar. Karena tidak jarang banyak orang yang sudah bergelar pun masih belum mampu melakukan itu semua. 

jadi, berlayarlah seperti kapal. Laut yang kita temui memang tidak menentu kondisinya. Ia akan dikelilingi oleh banyak faktor. Terkadang membantu, terkadang dapat menjadi musibah yang cukup berat untuk harus dialami. Semuanya merupakan proses dari berlayarnya kapal itu untuk sampai ke tujuannya. Sudah siap untuk mulai belajar sesuai dengan nuranimu sendiri?


Jakarta, 1 Juli 2021


Andi Ilham Razak

Comments

Popular Posts