Bersemi setelah Pandemi


Sebelum memulai untuk membaca...
Saya hanya ingin mengingatkan kepada pembaca agar tidak terjadi kesalahpahaman
Atau menghancurkan ekspektasi anda sebelum membaca tulisan ini secara utuh

Yang akan saya tulis di sini bukan perkara gejala medis Covid-19 yang sudah dapat diakses di berbagai media seperti WHO (World Health Organization) ataupun media-media lokal yang sudah merangkum dari berbagai informasi primer dan sekunder yang sudah divalidasi.

Di sini, saya kembali berkontemplasi atas munculnya virus baru ini yang dianggap sebagai virus yang mampu membinasakan banyak orang. Termasuk saya sendiri. Jadi, dapat dikatakan pula jika isi tulisan ini adalah pesan untuk saya pribadi. Namun saya tak melarang anda untuk membaca selama anda merasa tulisan ini ada manfaatnya.

Ya, setidaknya bisa melepaskan rasa bosan untuk mengisolasi diri di rumah.
Selamat membaca, jangan lupa siapkan cemilan dan minuman untuk menemani sesi baca anda hari ini.

Sumber: https://petapixel.com/2018/11/19/this-3-minute-timelapse-captures-929-hours-of-flowers-blooming/

Asal Muasal

Seperti yang kita lihat bersama, saat ini sepertinya kita mulai menyingkirkan identitas kita sebagai orang  yang dikenal dengan karakter "santai" nya. Kata "rileks" atau semacamnya seperti sedang mengungsi entah kemana. Yang jelas, banyak dari kita seperti sedang memusuhi sahabat karib sendiri.

Bagaimana tidak, selama dua bulan ini kita sedang dirundung dengan banyak rasa takut. 
Di kala beberapa orang masih dihantui rasa takut dengan hujan yang berpotensi merepotkan mereka karena menimbulkan banjir, kini harus berhadapan pula dengan ancaman virus yang bernama "Covid-19", virus yang digadang-gadang sebagai virus yang berasal dari Wuhan dan telah menyebabkan banyak kematian di negeri tirai bambu itu. 

Mulailah di sini banyak orang mulai resah. Tidak sedikit di antara kita langsung melakukan segala upaya agar dapat mencegah diri dari bahaya virus ini. Membeli masker medis, sabun cuci tangan, hand sanitizer, hingga membeli bahan makanan dan rempah-rempah secara berlebihan merupakan beberapa hal yang telah dilakukan oleh banyak orang di berbagai wilayah.

"Tapi, memang kita punya uang dan membutuhkannya, letak salahnya ada di mana?"

Baiklah, sepertinya kita terlebih dulu dapat memulai untuk membahasnya dari satu perkara ini.

Sumber: https://www.saccounty.net/COVID-19/Pages/default.aspx

Letak Salahnya?

Awal bulan maret, Presiden Republik Indonesia dengan berat hati mengumumkan secara resmi ada dua orang yang terinfeksi virus corona ini. Dikatakan bahwa hal tersebut dapat terjadi karena pasien tersebut berada di area yang sama dengan warga negara asing yang dinyatakan positif terinfeksi virus Corona setelah kembali ke Malaysia dan diperiksa. Mengetahui informasi tersebut, dengan tanggap mereka memeriksa ke rumah sakit. Setelahnya, mereka dinyatakan terinfeksi virus yang menyerang organ vital pernapasan manusia.

Kabar buruk menimpa setelahnya. Alih-alih yang terinfeksi hanya dua orang tersebut, ternyata makin bertambah setelah kasus itu diumumkan secara resmi hadir di negara kepulauan ini. Virus ini menjadi wabah di negeri kita, Indonesia. Setelah itu, ternyata WHO mau tak mau harus memberikan gelar pada virus yang satu ini sebagai virus pandemik (penyakit yang menyebar secara luas).

Kabar buruk lainnya, pasti ini akan memengaruhi aspek-aspek selain kesehatan. Tak ada lagi tatap muka, tak ada lagi kerja di kantor untuk sementara waktu. Kita harus rela untuk merumahkan setiap diri kita di kediaman kita masing-masing. Berat, apalagi untuk mereka yang merasa lebih senang ada di luar rumah untuk bekerja, bercengkrama dengan teman-teman, atau sekadar untuk menikmati hidangan lokal. Ya, sama seperti saya yang sedang rindu dengan sate ayam langganan saya yang terbilang murah tetapi tidak memurahkan kualitasnya.

Panic buying atau pembelian karena panik sudah terlihat di sekitar kita. Tengoklah banyak orang yang membeli bahan makanan yang dapat dikatakan sangat tidak wajar. Wajarkah satu kepala rumah tangga yang mungkin hanya beranggotakan sedikit anggota keluarga membeli belasan karton mi instan? Sementara, walaupun tidak dalam kondisi darurat global seperti ini masih banyak di antara kita yang masih sulit untuk mencari makan di hari ini, apalagi hari esok. Beras satu karung pun tidak mampu ia beli. Apalagi belasan atau puluhan seperti mereka yang terlihat tak siap mati entah karena apa.

Ayolah, kita tidak sedang dalam keadaan perang seperti perang dunia kedua yang berimbas pada negara kita di tahun 40-an kok. Tidak perlu meunjukkan takut yang berlebihan apalagi sampai lupa kalau dunia ini ada bukan hanya untuk kita sendiri ataupun hanya untuk mereka yang masih memiliki garis kekerabatan dengan kita. Bukan begitu?


Sumber: https://www.wartaekonomi.co.id/read274800/panic-buying-bikin-mi-instan-ludes-diserbu-konsumen-grup-salim-bagai-dapat-durian-runtuh

Ah, tapi siapa juga saya yang memperingatkan atau mengimbau mereka yang berkantong tebal itu. Mereka dapat bertahan dari wabah ini. Logistik tercukupi selama beberapa hari hingga beberapa bulan ke depan, bahkan mereka pun mungkin tak takut bilamana mereka sendiri yang terpapar virus menyebalkan itu. Toh, mereka juga sudah memiliki polis asuransi dan uang yang cukup untuk perawatan kesehatan mereka di rumah sakit. Jadi, tidak perlu terlalu risau dengan bahayanya virus ini yang sudah digembar-gemborkan oleh berbagai media. Bahkan imbauan dari pemerintah di negerinya sendiri pun rasa-rasanya tidak perlu untuk diberikan perhatian yang serius.Lalu, siapa yang bisa memerintahkan?

Negeri kita seakan sempit karena luasnya wilayah geografis yang kita punya terkungkung dengan mereka, bahkan kita yang sangat kerdil pikirannya. Kehilangan diri sendiri karena pandemi.

Lantas, siapa yang salah? Pemerintah? Dokter? Saya? Anda? atau virus Corona itu sendiri?


Menyegel

Namanya juga wabah penyakit menular. Pasti salah satu perkara yang perlu diatasi adalah kontak fisik antara satu orang dengan lainnya. Khususnya di area publik. Baik tempat makan, bank, hingga pasar. Di beberapa negara pun memerhatikan hal ini sebagai langkah untuk mengintimidasi virus ini. Namun bagaimana dengan negara kita?

Lockdown, istilah yang muncul beriringan dengan mengganasnya wabah ini di dunia kita. Negara-negara lain mulai menutup segalanya. Termasuk menutup "gerbang" mereka agar tak ada lagi yang keluar dan masuk untuk sementara waktu. Jangankan untuk pergi kembali ke kampung halaman, hanya ke toko pun tidak dilarang. Lalu aparat keamanan akan berjaga di daerah-daerah tertentu untuk memastikan semua orang mengikuti aturan tersebut.

Bagaimana dengan negeri kita? Apakah lockdown diperlukan?

Saya tahu kalau ini masih jadi perdebatan di kalangan pemerintah, teknokrat, hingga ke warga yang mulai dirumahkan sembari memandangi nasibnya untuk beberapa waktu ke depan. Bagaimana jika lockdown diterapkan? Bagaimana jika tidak diterapkan? Mana yang lebih baik?

Seperti yang telah saya singgung sebelumnya, lockdown saat ini memang ditujukan agar mengurangi hingga menghentikan penyebaran wabah. Sehingga jumlah pasien di Rumah Sakit tidak akan terus membengkak dan semua pihak yang menangani pasien dapat fokus pada angka yang ada dan tidak risau akan adanya kenaikan dari angka tersebut sehingga setiap dari kita dapat kembali menjalankan aktivitas dengan tenang karena "semi-makhluk" kecil itu sudah pergi entah kemana. Mungkin dia akan turun kasta selayaknya kita menganggap flu sebagai penyakit biasa yang hanya perlu istirahat dan mengonsumsi obat yang mudah dijumpai di toko.

Di lain sisi, tentu ada yang tak bisa menyepakati lockdown ini diterapkan. Alasannya, ada perut yang harus tetap terpenuhi kebutuhannya. Bila semuanya termasuk si tulang punggung keluarga itu harus merumahkan diri, lantas siapa yang akan menjamin hajat hidup mereka bilamana mereka benar-benar hanya berdiam diri di rumah dan tidak mendapatkan uang?

Oh iya jangan lupa, memang masih ada 20 juta orang yang memang masih terdata sebagai "orang miskin" di negeri yang dicap sebagai negeri kaya ini. Lupakan pasal-pasal yang mengatakan negara ini akan memenuhi hajat hidup rakyat terutama rakyat miskin. Pasal itu hanya mempercantik dasar hukum negeri ini saja atau setidaknya dipakai untuk keperluan politik praktis semata. Tak usah banyak berkhayal.

Bila lockdown ini akan diterapkan, satu per satu dari mereka akan tumbang jika tidak ada yang menopang. Bukan mati karena virus, tapi mati karena lapar.

Lalu, siapkah bila mau tak mau kita perlu menyegel setiap inci dari wilayah kita satu per satu? Apakah hanya kita yang memiliki cadangan finansial saja yang siap bertahan di kemelut wabah penyakit ini?

Siap untuk melihat banyaknya kerusuhan tanda ketidaksiapannya beberapa atau mungkin banyak orang yang tak mampu membeli beras untuk kebutuhan beberapa jangka waktu ke depan?

Siapa pembunuh sesungguhnya?


Sumber: http://www.montesquieuvolvestre.com/-83

Dari sinilah kita mengetahui bahwa kita tidak siap menghadapi konflik yang sepelik ini. Bukan hanya pemerintah. Tapi setiap dari kita pun juga terhitung sebagai penyebab terkuat bahwa kita masih payah dalam bertahan di kondisi seperti ini.

Tak bisa dielakkan lagi, sudah ratusan nyawa raib hingga hari ini, sudah banyak air mata yang jatuh sampai hari ini, dan sudah banyak kekhawatiran yang berhasil membunuh dan mengekang banyak orang.

Rasa khawatir sudah menghampiri ke banyak orang. Khawatir bila harus menjadi salah satu pasien yang terinfeksi virus covid-19 ini, khawatir bila meninggal karena penyakit ini, khawatir bila suatu saat tidak bisa makan karena uang habis atau tidak mendapatkan stok di pasar, khawatir bila usahanya mati, dan masih banyak lagi. Masih banyak perkara-perkara yang menjadi energi yang cukup untuk menjaga rasa khawatir tetap ada dalam diri masing-masing.

Kita dapat saksikan bahwa kebencian dan kesedihan yang sangat mendominasi saat ini. Bahkan hampir di banyak wilayah perkara wabah ini selalu dihiasi dengan nuansa sedih, marah, dan benci. Kita bisa lihat ada yang justru menganggap tenaga medis yang menjadi garda terdepan dalam mengatasi wabah ini terlihat seperti najis. Diasingkan hingga diusir dari huniannya karena khawatir dapat menularkan penyakit. Di tempat lain kita juga dapat melihat bahwa mirisnya perlakuan yang didapat dari pengidap penyakit yang diakibatkan oleh virus corona ini. Bahkan, mereka yang sudah harus menghadap dengan Yang Maha Kuasa pun masih dipersulit hingga petugas yang harus mengurusi pemakamannya pun dilempari batu layaknya pelaku kriminal.

Belum lagi dengan mereka yang masih mengedepankan keperluan-keperluan pribadinya di atas kasus ini. Entah masih mengurusi politik yang tujuannya untuk memenangkan, menguntungkan, hingga membungkam ataupun lebih memprioritaskan bisnis yang irasional seperti penyelundupan hingga penjualan di atas harga normal.

Astaga, karena satu hal yang kecil sekali bisa membuat dampak sebesar ini. Sepertinya peribahasa "kecil-kecil cabai rawit" tak lama lagi akan berubah menjadi "kecil-kecil virus Corona". Karena kecilnya dia bukan berarti tidak bisa melumpuhkan hal yang besar. Pergerakan ekonomi, misalnya.

Setelah membayangkan semua kondisi tadi, sepertinya kita dapat melihat adanya satu pembunuh yang lebih mematikan dibanding virus corona itu sendiri. Tidak lain adalah matinya kemanusiaan di dalam bagian diri manusia. Inilah pembunuh berantai yang lebih mematikan. Bagaimana tidak, kita bisa lihat dalam kondisi seperti ini justru kita seperti sedang mencekik leher satu sama lain dengan metode-metode yang kita pakai. Tidak peduli dengan keadaan tetangga, tidak peduli dengan kesehatan diri sendiri yang dapat membahayakan orang lain, dan contoh-contoh yang sudah dipaparkan sebelumnya.

Memang, corona itu mematikan dan dapat merusak organ paru-paru. Namun bukan berarti bahwa kematian selama pandemi ini hanya diakibatkan oleh virus itu saja. Mulai dari kelaparan hingga depresi pun menjadi calon pesaing dari pneumonia dan penyakit-penyakit lainnya yang disebabkan oleh virus Corona ini.

Artinya, setiap dari kita saat ini berpotensi menjadi seorang pembunuh. Tak memandang umur, status finansial, hingga kasta. Apalagi jika kemanusiaan kita pun sudah lenyap dimakan oleh bagian kecil dari diri sendiri yang dinamakan "ego" serta disponsori dengan kuat oleh unsur yang dikenal dengan nama panggung "kebodohan".

Apakah anda termasuk bagian dari komplotan pembunuh tersebut?

Ada yang Perlu untuk Rehat

Setiap dari kita yang bekerja pastilah lelah. Dari 24 jam yang ada, waktu kerja kita memang sangat berbeda satu dengan yang lainnya. Saya yang bekerja dari siang hingga malam ataupun anda yang bekerja dari pagi hingga sore atau pola lainnya yang berbeda dari keduanya. Apa yang kita kerjakan, apa yang kita dapatkan memang berbeda. Namun tidak lupa, kita memiliki kesamaan. Sama-sama membutuhkan istirahat. Istirahat dari segala kegiatan harian yang melelahkan dan setelahnya kembali ke semua hal yang perlu kita pertanggungjawabkan

Wajar, tubuh memerlukan istirahat. Dalam satu hari tubuh perlu berkoordinasi satu sama lain, membentuk dan mengurai, melebar dan menyempit. Semuanya memang sudah diberikan energi untuk bekerja namun bukan berarti tubuh tidak bisa merasakan kelelahan karena bekerja terus menerus.

Jika melihat perspektif lainnya, momen ini justru dijadikan sebagai momen istirahat. Istirahat karena tidak berhenti kerja walaupun sedikit, tidak berhenti bertanggung jawab atas kesalahan yang lainnya, tidak berhenti menjadi baik walaupun tidak banyak yang merasakan kebaikannya hingga tidak berhenti menaungi walau dalam keadaan sakit.

Di saat ini secara bersamaan kita pun mendengar kabar gembira. Lapisan ozon kembali tertutup, langit terlihat lebih cerah dibandingkan saat setiap dari kita berdoa agar tidak macet seraya keluar dengan kendaraan bermesinnya sendiri-sendiri.

Tak hanya itu, hewan-hewan pun berkeliaran dengan rasa aman tanpa perlu khawatir akan tertabrak. Di beberapa negara, kita bisa melihat hewan-hewan seperti beruang, rusa, kambing  justru menguasai jalanan. Mencari makan, menjelajahi setiap sudut jalan, bahkan beristirahat di mana saja tanpa ada yang menendangnya untuk pergi karena menghalangi jalan.

Ada yang memang sedang istirahat karena sudah sangat membutuhkannya. Yaitu bumi, tempat kita dan makhluk lainnya bernaung. Bumi yang tua ini ternyata sudah tidak sanggup menahan lelahnya bekerja setiap detik selama jutaan tahun lamanya. Mungkin Tuhan pun mau tak mau mengabulkan doa Bumi demi kebaikannya dan juga kebaikan yang lainnya. Bumi sudah lama menahan sesaknya keserakahan manusia. Bumi tidak terlalu luas untuk menampung hal rendah seperti itu.

Maaf karena terlalu acuh sehingga lupa kau pun butuh istirahat. Semoga lekas pulih.

Titik Balik

Pesan penting yang kita dapatkan saat ini pasti banyak sekali. Waktu yang tersedia pun tidak cukup untuk kita merangkum tiap pesan yang kita dapat selama pandemi ini. Tapi yang pasti, banyak orang yang merasa bahwa momen ini adalah momen titik balik atas segala ataupun beberapa hal di hidup masing-masing.

Selama pandemi ini, ada yang merasa bahwa dia tidak mungkin bahagia setelah semua perkara ini selesai jika dia hanya hidup sendiri atau hanya keluarganya yang selamat dari sekian orang yang hidup di sekitarnya. Dari swakarantina ini ada pula yang menyadari bahwa mendidik anak secara menyeluruh itu tidaklah mudah, karena nafkah untuk anak bukan hanya nafkah berupa material tetapi nafkah moral dan akal pun wajib diakomodasi. Ada pula yang menyadari bahwa selama ini dia kurang menjaga kesehatannya sendiri sehingga mulai satu per satu pola hidup sehat pun ia pelajari. Saya yakin masih banyak lagi hal-hal yang tiap dari kita temukan selama masa krisis ini berlangsung. Termasuk saya pribadi yang ternyata masih banyak evaluasi yang perlu saya perbaiki. Memperbaiki hubungan ke Tuhan, manusia, dan alam.

Di balik semua masalah yang selama ini terekspos, masih ada yang lebih perlu untuk diekspos. Efek dari kesadaran banyak orang. Ada yang membayangkan bagaimana repotnya pekerjaan semua tenaga medis hari ini. Oleh karenanya, banyak sekali penggalangan dana diadakan untuk membelikan segala kebutuhan tenaga medis. Ada yang merasa bahwa merebaknya virus ini akan berdampak pada penghasilan beberapa kalangan sehingga sebagian mereka menginisiasi untuk membantu dengan cara memberi makan, memberikan uang, hingga memberikan penunjang kesehatan. Ada pula yang merasa bahwa yang dimilikinya hanyalah tenaga, bukan uang seperti orang mampu sehingga mereka membantu melawan penyebaran virus ini dengan menjadi relawan. Contoh lainnya masih banyak lagi yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu di sini.

Artinya, di saat inilah setiap dari kita berpotensi menemukan titik balik. Titik balik untuk melengkapi barisan orang baik. Orang yang tak hanya memikirkan diri sendiri, orang yang tak merasa bahwa ialah pusat dari semesta, orang yang mengerahkan segalanya untuk memproduksi kebaikan. Orang baik di sini masih ada, dan masih perlu banyak lagi orang baik lainnya. Semangat seperti ini yang dicari sedari dulu. Sebagaimana setiap orang di zaman Proklamasi berupaya untuk mengerahkan apapun demi tercapainya kemerdekaan. Tidak hanya mengandalkan Bung Karno dan kawan-kawannya yang berjibaku di BPUPKI maupun PPKI. Semangat yang muncul dan setelahnya menjadi kebanggaan tersendiri bagi yang mengalami dan mendengarnya.

"Di bumi banyak orang baik, tapi kita masih perlu lebih banyak lagi" -Marchella F.P.

Inilah titik balik untuk kita semua. Titik yang mampu merubah kita menjadi setiap orang yang siap untuk berorientasi pada kontribusi tanpa adanya pamrih; Titik yang mampu menjadikan kebiasaan kita lebih baik lagi; hingga menjadi titik yang menumbuhkan semangat baru di setiap diri kita. Titik balik inilah yang ditunggu untuk memperbaiki banyak hal, dari yang kecil hingga yang besar, Titik balik ini seperti musim semi yang muncul setelah gugurnya daun-daun dari tangkainya dengan ornamen sedih karena banyaknya daun yang gugur dan siap untuk disapu oleh angin.

Setelah ini semua selesai, bersemilah kita semua. Munculkan semangat baru, energi baru, dan siap melintasi segala dinamika yang ada dan akan ada. Yakinlah, kita akan menang.

Mati bersemi setelah pandemi. Yakinlah, hal-hal indah sudah menunggu setelah masa kelam ini kita lewati bersama.


                                                                                                                                           12 April 2020



                                                                                                                                   Andi Ilham Razak



Comments

Popular Posts