Males baca nih (part 1)

"Asli mager banget dah gua baca buku segini tebelnya. Mana teks semua lagi kaga ada gambar-gambarnya"

"Ya Allah si bapak. Gua ga suka baca buku malah ada tugas resensi buku. Mana dua buku lagi yang musti dibikin resensinya"

"Dia mah emang kutu buku.  Lah gua? Gua tipikal orang yang ga demen baca buku. Mending nonton dah gua mah"





Mungkin di antara kita ada yang sempat berucap seperti itu. Khususnya, saya pribadi. Karena itu, di sini mau berbagi tentang perjalanan seorang yang pada awalnya #antibuku #antiliterasi dan kemudian menjadi seorang book junkie, yang rak bukunya penuh dengan buku yang sudah dibelinya dan harus bersedia terdaftar dalam "waiting list" buku yang harus dijamah.

Buku bukanlah hal yang menarik untuk saya sejak dari kecil. Saya hanya mengunjungi toko buku bila ingin membeli buku kumpulan soal Ujian Nasional, buku rumus, RPUL (buat yang belum tau, tandanya anda belum hidup di jaman bazaar buku meriah di SD), atau kamus. Hanya sebatas itu saja, tidak lebih.

Sedari zaman masih di Sekolah Dasar, Saya sudah mendapatkan sekian nasihat mengenai pentingnya membaca. Almarhum Kepala SD Negeri Pisangan Timur 01 Pagi salah satunya. Sekolah saya merupakan sekolah satu atap yang terdapat dua sekolah dasar di dalamnya (Saya bersekolah di SDN 03 Pagi). Pada kala itu, yang mendapatkan amanat menjadi pembina upacara di pekan itu adalah kepala sekolah 01. Point yang saya dapatkan adalah

"Anak-anak, jangan malas membaca buku"

Itu yang saya highlight dari sekian isi pidato beliau pada saat itu. Namun, apalah daya seorang yang malas membaca buku seperti saya? Hanya bisa menghormati nasihat beliau pada saat itu yang saya ingat hingga saat ini.

Perjalanan hidup berlanjut. Masih dalam keadaan yang menyetujui bahwa anak seusia saya tidak terlalu perlu membaca buku. Takut menjadi pengguna kacamata, gurau ku.

Mulailah masuk dunia sekolah menengah. Pada bagian ini, "pencekokan" buku terhadap orang seperti saya sudah mulai gencar. Salah satunya, dengan adanya tugas mencari informasi penting di buku novel dari mata pelajaran bahasa indonesia.

Matilah awak. Berarti harus mencari buku yang cukup tebal (menurut saya, dulu buku yang hanya berapa puluh halaman pun sudah cukup tebal), lalu dibaca sampai selesai, dan dimuat inti-inti cerita/informasi pentingnya?!

Beruntungnya saya, ternyata tetangga saya yang pada saat itu sudah SMA cukup senang membaca buku. Khususnya novel. Jadi, buku yang dia punya cukup banyak. Dipinjamkannya dua buah buku kepada saya, "Blitz" yang ditulis oleh Rudiyant pada tahun 2009 dan buku yang filmnya menjadi fenomenal di tahun 2013 dan menjadi salah satu alasan mengapa pendakian gunung menjadi sebuah tren. Tak lain tak bukan adalah "5cm." dari Donny Dirghantoro.

Jadi, ya itulah kedua buku jenis novel yang pertama kali saya baca. Bukan hanya buku kumpulan soal, rumus, atau grammar.

Awal Mula "Hijrah" Untuk Mulai Mencoba Menyukai Buku

Nah, fase ini dimulai ketika kuliah. Dari sini gua percaya dengan suatu proverb yang mengatakan bahwa "Lingkungan akan membawamu menjadi seorang sosok tertentu". Karena di kampus saya, trend nya adalah budaya literasi, salah satunya. Terutama ketika berkenalan dengan orang-orang yang berkecimpung di dunia sospol, pasti hal yang perlu mereka biasakan adalah: baca, diskusi, aksi.

Oke, saat itu saya masih belum tertarik walaupun makin banyak nerd yang acapkali saya temui di area-area saung atau sekretariat organisasi mahasiswa. Masih belum mengetuk hati untuk mencoba belajar membaca. Ya, saking payahnya saya dalam membaca kala itu maka saya mengakui bahwa saya perlu "belajar membaca"

Yang Semakin Menguatkan untuk Memulai Belajar Membaca

Bukannya langsung terpacu dengan banyaknya teman ataupun senior yang suka membaca, justru saya ingin memulai membaca karena salah satu dosen saya, Dra. Yulinina Retno, M.Biomed berkata kurang lebih seperti ini:

"Coba untuk baca apapun. Baca koran, baca pengumuman, baca iklan yang ada di kendaraan umum, dan lain-lainnya. Dengan begitu, akan jadi terbiasa untuk membaca"

Baru kali ini ada approach yang berbeda dari yang lainnya. Di sini saya belajar bahwa untuk mengatasi satu masalah, perlu banyak approach yang memperkaya perspektif dan eksperimen yang terus menerus berevolusi untuk mendekat pada titik bingo. Dari sini, saya mulai mencoba aktif membaca. Membaca blog orang, bacaan yang ada di media sosial, hingga pada akhirnya membaca buku. Buku pinjaman teman pastinya. Saya belum sudi untuk mengeluarkan sepeser uang untuk membeli buku yang belum tentu dapat saya selesaikan. (Oh iya, dalam hal ini saya juga berterima kasih kepada Lembaga Dakwah FMIPA Masjid Ulul Albaab yang dulu menyediakan jasa peminjaman buku islami. Terkadang saya meminjam buku di situ).

"Aku rela untuk dipenjara asalkan dengan buku. Karena dengan buku aku bebas" -Moh.Hatta

Quote itu cukup sering dipakai untuk dijadikan sebagai preface dari wejangan para tetua, orang yang terlebih dulu sudah merasakan nikmatnya bercengkrama dengan buku untuk mereka, lebih tepatnya kami yang masih malas membaca dan hanya mementingkan hobi lain ataupun urusan lainnya, hingga dijadikan sebagai penghias perpustakaan yang pastinya bertujuan untuk menggugah minat khalayak untuk membaca buku.

Tapi sekali lagi, dengan memberikan quotes mengenai buku belum bisa memberikan efek besar bagi pemalas seperti saya

Manfaat buku bagi mereka yang anti membaca buku

Pertanyaan yang akan muncul dalam benak orang-orang kepada mereka yang tidak suka membaca buku adalah:

"Lantas, apa  manfaat buku bagi mereka yang belum paham indahnya menikmati tiap untaian aksara ini?"

Bagi saya, buku tetap bermanfaat. Bahkan, sangat bermanfaat.

Buku saya gunakan untuk membaca. Namun, tujuannya adalah agar mudah tidur. Saya tidak jarang mengalami kesulitan dalam tidur. Hal ini menjadi sebuah keluhan bagi orang tua saya. Karena khawatir saya tidak sholat subuh, hingga terlambat berangkat sekolah/kampus. Oleh karenanya, saya dapat mengatakan bahwa saya menyukai dan tidak menyukai buku pada waktu yang sama, dengan latar yang berbeda.

Dihadapkan pada sikap menuju buta aksara, menuju ketidakpedulian, menuju penyempitan perspektif

Cerita mengenai #malasbaca berlanjut ketika sudah masuk fase menuju kedewasaan. Ketika saya masih berada di dalam lingkaran dunia sosial politik, kami dituntut untuk selalu mengirimkan tulisan setiap bulan. Wajar, kami yang berada di dalamnya seharusnya menjadikan literasi sebagai gaya hidup. Selayaknya fashion, teknologi, dan lain sebagainya.

"Jangan lupa teman-teman untuk mengirim tulisannya. ditunggu sampai akhir pekan." Tukas salah satu teman yang menjadi penanggung jawab atas keterlaksanaan dan keberhasilan program kerja tersebut. Banyak diantara kami yang mengiyakan hal tersebut dan berjanji untuk mengirim tulisan pada waktu yang spesifik. Tapi tak jarang ada yang belum menjawab. Tentunya, saya salah seorang yang ada dalam barikade kelompok tersebut.

"Bingung. Gatau mau nulis apa. Belom bikin juga"

Tentu, orang yang telah lama berkecimpung dan asyik di dalam dunia literasi ini pasti mendorong saya untuk menulis. Cara yang ia lakukan adalah dengan mengirim quotes dari seorang senior yang mengatakan seperti ini 

"Bagaimana kita bisa menulis kalau kita tidak pernah membaca?"

Setelahnya, terjadi perseteruan antara kami berdua. Tetap mempertahankan argumen masing-masing hingga akhirnya yang terjadi adalah tiap dari kami  membiarkan satu sama lain tetap bersikap seperti ini dan kemudian, saya berpikir bahwa tempat ini belum cocok untuk saya.

To be, or not to be

To be or not to be. That's the question. -William Shakespeare

Masih berkutat antara mulai mencoba untuk membaca buku secara intensif hingga selesai (minimal satu buku) atau tetap terjerembab dengan malasnya membaca. Seketika langsung terfikirkan dengan dua pertanyaan yang secara random muncul di kepala

1. Apa sih yang bikin orang-orang (termasuk saya) malas membaca buku?
2. Bagaimana cara meningkatkan minat membaca buku?

"Pokoknya gimanapun caranya, musti bisa mulai suka baca buku. Asal bukan buku cetak sekolah. Mau buku biologi kek, buku politik, bahkan novel sekalipun yaudah gapapa! Yang penting bisa merasakan kebebasan yang dimaksud oleh Bung Hatta"

Bergegas, memulai sebuah perjalanan yang entah kapan dapat mencapai garis finishnya. Yasudah, nikmati saja. Lebih baik mencoba, daripada semua ini hanya menjadi bahan pemikiran yang tiada penyelesaiannya.

Comments

Popular Posts