Perihal Kebencian yang Tidak Ada Ujungnya

Kalau saya ingat-ingat di pikiran saya, banyak sekali hal yang tidak saya sukai. 


Mulai dari jenis makanan dan minuman, tempat, waktu, benda, hingga kondisi. 


Boleh dikatakan, karena saking banyaknya ketidaksukaan saya dengan berbagai hal, saya harus menyesuaikan orang lain. Supaya tidak perlu orang-orang mengetahui, mengingat, dan menyesuaikan apa saja yang tidak saya sukai terkait apapun. 


Ada satu hal yang bukan lagi saya tidak sukai, tapi sudah pada taraf benci. 


Katanya, kalau sudah pada taraf benci, bagaimanapun rupa dan kondisinya, akan tetap sulit untuk kita sukai. Jangankan suka, sudah mengingat atau melihatnya pun tidak sudi. Bukan begitu?


Tidak hanya saya saja, pasti banyak dari kalian sudah mengalami berbagai peristiwa. Setidaknya sampai saat ini, sampai kalian masih dapat membaca tulisan ini. Apa yang sudah dilalui akan meninggalkan sesuatu ke diri kita sendiri. Entah itu berupa pengalaman, kisah, kemampuan, kekuatan, trauma, termasuk rasa benci yang dapat menjamur ataupun stagnan. 


Tidak sedikit ucapan yang saya dengar, bahwa kesendirian itu tidak nyaman. Kesendirian yang berlarut itu aneh. Orang-orang yang cenderung menyendiri dianggap sebagai suatu hal yang tabu. Bahkan anti-sosial. Apalagi ketika di tempat umum dan tempat yang sudah dilabeli dengan "tempat keramaian" ataupun "tempat untuk berinteraksi". Pernah merasa canggung ketika sedang sendiri ataupun menyendiri di tengah keramaian yang sedang bercengkrama dengan satu sama lain?


Bercengkrama dengan berbagai orang memang tidak pernah gagal untuk menarik rasa keingintahuan saya. Selalu menarik bila kita duduk bersama, berbicara tentang diri masing-masing hingga tentang isu yang rumit sekali seperti politik dalam dan luar negeri ataupun resesi ekonomi. Kita dapat mengulik isi pikiran. Tidak hanya itu, mengembangkannya pun sangat potensial dan menjadi hasil yang lebih luar biasa lagi dengan berbicara dengan banyak orang. 


Dengan adanya perbedaan pada latar belakang, tujuan, hingga selera, manusia membuat peradabannya sendiri. Dari zaman satu menuju zaman berikutnya, kita ditemani oleh kemajuan dan kemunduran, penemuan dan penciptaan, pro dan kontra, percintaan dan kebencian, rasanya masih banyak lagi unsur yang sudah menemani peradaban kita hingga saat ini. 


Tak jarang, saya merasa terbantu jika saya berinteraksi dengan orang lain. Mulai dari sekadar bercerita hingga meminta pertolongan ketika saya menilai diri saya sudah tidak mampu melakukan atau mengatasi hal tertentu. 


Sayangnya, manusia itu variabel yang tidak dapat sepenuhnya menguasai dan dikuasai. Tak jarang kita mendengar kita harus menguasai diri sendiri. Nyatanya, tidak semudah itu. Atau mungkin, memang tidak bisa.


Saya tidak dapat mengontrol diri saya untuk menjadi apapun yang saya mau, tetap berada di dalam kondisi yang saya inginkan. Selalu sehat dan tetap berhubungan baik dengan semua orang, misalnya.


Apalagi mengendalikan kehendak orang lain. Dengan uang dan kekuasaan? Tidak semuanya. Jika semua orang dapat kita kendalikan dengan kuasa ataupun uang, maka hingga hari ini kita tidak akan dengar cerita tentang perlawanan. Bahkan dari negara ini yang sudah menjadi korban imperialisme selama ratusan tahun.  Tidak sedikit pahlawan muncul di dalam peristiwa tersebut. 


Manusia punya batasan. Seringkali saya sebut sebagai blind spot atau titik buta. Buta akan penglihatan dan wawasan. Hingga tidak dapat menjangkau semua hal yang ada ataupun akan ada di dunia. 


Setiap masa akan ada orang-orang yang terlahir dan yang perlu meninggalkan apapun yang ada di sekitarnya. Kita pernah ada di fase itu dan akan menuju fase itu, bukan?


Saya tidak senang bila melihat orang-orang yang meninggalkan atau ditinggalkan. Semua memori akan melintas di kepala ketika momen itu terjadi. Mengingat setiap situasi kita dengan orang-orang yang bersangkutan. Meninggalkan dan ditinggalkan, kedua kondisi yang menyebalkan bagi sedikit ataupun banyak orang.


Itulah yang menjadi sumbu utama mengapa saya membenci orang. Karena suatu saat, entah kapan, saya harus siap untuk meninggalkan dan ditinggalkan. Saya benci ketika saya kenal dan akrab dengan orang-orang. Belum lagi dengan adanya salah satu sifat alami manusia,


Lupa


Sudah berapa banyak hal yang kita lupakan hingga hari ini?\

Sudah berapa banyak orang-orang yang kita lupakan atau kita abaikan dengan berpura-pura lupa terhadap mereka?


Hingga hari ini, saya merasa bodoh karena terlahir menjadi manusia. Saya harus meninggalkan dan ditinggalkan serta melupakan dan siap untuk dilupakan. 


Saya benci manusia. Terlebih diri saya sendiri.


Hingga hari ini, hingga detik yang ada di arloji saya masih bergerak dari satu angka ke angka berikutnya, hingga saat tulisan ini masih dilihat oleh berbagai pasang mata. 


Sampai jumpa. Semoga setidaknya ada momen baik sebelum saling meninggalkan dan melupakan. 

Comments

Popular Posts